Rabu, 21 Desember 2011


MAKALAH KONSEP DASAR PENDELEGASIAN
DI SUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MODUL MANAJEMEN KEPERAWATAN I
Dosen pengampu :Andriyani Mustika, S.kep.Ns
Logo%20STEKES%20KENDAL
Di susun oleh:
Kelompok 2
1.        SILVIAN HENDRA FENDIANTOKO                        (SK.109.169)
2.        SITI CHAERIYAH                                            (SK.109.170)
3.        SRI NURHAYATI                                             (SK.109.182)
4.        SUCI DEWI RAHAYU                                     (SK.109.183)
5.        TRI WULAN                                                      (SK.109.195)
6.        TRI YULIONO                                                   (SK.109.196)
7.        WIRDA RO’IKHATUT TAMAMAH               (SK.109.208)
8.        YUWIENDA TYAR ASMARANI                   (SK.109.215)
9.        ZULFA ISTATI MAHARDANI                                   (SK.109.221)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDAL
2011
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya yang dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat melaksanakan tugas membuat makalah ini walaupun sangat sederhana.
Tujuan membuat makalah ini guna melengkapi salah satu tugas mata kuliah Modul  Manajemen Keperawatan. Disamping itu juga menambah pengetahuan tentang konsep pendelegasian.
Dalam kesempatan ini pula kami mengucapkan terima kasih kepada :
  1. Tuhan YME.
  2. Ibu Andriyani Mustika, S.Kep.,Ns. dan Tim selaku koordinator dosen pengampu mata kuliah Manajemen Keperawatan.
  3. Serta teman-teman yang telah membantu dalam menyusun makalah ini.

Kami percaya bahwa dalam menyusun makalah ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan. Maka dari itu kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca semua.

Kendal, 21 Desember 2011

Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendelegasian merupakan elemen yang esensial pada fase pengarahan dalam proses manajemen karena sebagian besar tugas yang diselesaikan oleh manajer (tingkat bawah, menengah dan atas) bukan hanya hasil usaha mereka sendiri, tetapi juga hasil usaha pegawai. Bagi manajer, pendelegasian bukan merupakan pilihan tetapi suatu keharusan. Ada banyak tugas yang sering kali harus diselesaikan oleh satu orang. Dalam situasi ini, pendelegasian sering terkait erat dengan produktivitas.
Ada banyak alasan yang tepat untuk melakukan pendelegasian. Kadang kala manajer harus mendelegasikan tugas rutin sehingga mereka dapat menangani masalah yang lebih kompleks atau yang membutuhkan keahlian dengan tingkat yang lebih tinggi. Manajer dapat mendelegasikan tugas jika seseorang telah dipersiapkan dengan lebih baik atau memiliki keahlian yang tinggi atau lebih cakap tentang cara menyelesaikan masalah. Pendelegasian juga dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran atau “pemberian” kesempatan kepada pegawai. Pegawai yang tidak didelegasikan tanggung jawab yang sesuai dapat menjadi bosan, tidak produktif, dan tidak efektif.
(Marquis, Bessie L, dkk.2010 )
B. Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami pengertian delegasi.
2. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami aspek penting dalam pendelegasian.
3. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami metode-metode pendelegasian
4. Mahasiswa mampu menganalisis wewenang yang dapat didelegasikan maupun yang tidak dapat didelegasikan.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendelegasian
Menurut Marquis dan Huston (1998) dalam Nursalam (2002) bahwa pendelegasian adalah penyelesaian suatu pekerjaan melalui orang lain. Dapat juga diartikan sebagai suatu pemberian suatu tugas kepada seseorang atau kelompok dalam menyelesaikan tujuan organisasi.
Pendelegasian adalah bagian dari manajemen yang memerlukan latihan manajemen profesional yang dikembangkan untuk dapat menerima pendelegasian tanggung jawab secara struktural (Swanburg, RC., 2000).
Definisi pendelegasian secara sederhana adalah menyelesaikan tugas melalui orang lain atau mengarahkan tugas kepada satu orang atau lebih untuk mencapai tujuan organisasi. Namun, definisi yang lebih komplek dari pendelegasian, superfisi, dan penugasan telah dibuat oleh American Nurses Association (ANA) dan National Council of State Boards of Nursing (NCBSN) sebagai respon terhadap adanya kompleksitas pendelegasian di area pelayanan kesehatan dewasa ini, yaitu meningkatnya jumlah pekerja, yang relative tidak terlatih dan tidak memilik izin, yang merawat pasien secara langsung. ANA (1996) mendefinisikan pendelegasian sebagai pemindahan tanggung jawab dalam melakukan tugas dari stu orang ke orang lain. NCBSN (1995) mendefinisikan pendelegasian sebagai pemberian wewenang kepada individu yang kompeten untuk melakukan aktivitas keperawatan tertentu pada situasi yang ditentukan.
B. Aspek Penting Dalam Pendelegasian
a.       Fokus pendelegasian adalah hasil kerja yang diharapkan tercapai, dalam upaya menggapai sasaran/tujuan akhir dari organisasi.
b.      Pendelegasian dilaksanakan dengan sikap hormat yang didasarkan atas penghargaan dan kesadaran terhadap diri sendiri sebagai sesuatu yang "berharga", serta memerhatikan harga diri dan kehendak bebas orang lain, di mana setiap pekerja dipandang sebagai subjek, dan bukan objek kerja.
c.       Pendelegasian yang menghasilkan melibatkan harapan-harapan yang meliputi bidang berikut.
·         Menekankan pada tercapainya hasil-hasil yang didambakan atau diinginkan pada waktu depan yang telah ditentukan ("desired results").
a.       Pendelegasian menyatakan dengan tegas tentang apa yang harus dicapai, bukan bagaimana mencapainya, di mana fokus utama diarahkan kepada hasil produksi.
b.      Pendelegasian memberikan tugas, wewenang, hak, tanggung jawab, kewajiban membuat/memberi laporan pada awal tugas, dalam tugas, dan akhir tugas untuk diketahui dan dievaluasi oleh pemimpin.
·         Pelaksanaannya dilandasi pedoman/petunjuk ("guidelines") yang jelas, baik bagi tugas maupun pelaksana tugas. Artinya pendelegasian menyatakan pedoman-pedoman, larangan-larangan, dan batas-batas dimana seseorang harus bekerja/melakukan kewajibannya. Hal ini menolong setiap orang untuk bekerja dengan baik/patut.
·         Melibatkan sumber-sumber daya ("resources") yang pasti. Pendelegasian menyatakan (disertai dengan pernyataan) akan adanya sumber-sumber daya, antara lain sumber daya manusia, keuangan, teknis, atau organisasi yang dapat dipakai seseorang untuk menyelesaikan tugas yang didelegasikan kepadanya.
·         Dinyatakan dengan adanya tanggung jawab dan pertanggungjawaban ("responsibility" dan "accountability"). Pendelegasian menyatakan patokan yang akan digunakan untuk menilai hasil/prestasi akhir, yang diwujudkan dengan adanya tanggung jawab dan pertanggungjawaban kerja yang dapat dilakukan dengan membuat/memberi pelaporan pada awal tugas, dalam tugas, dan akhir tugas untuk diketahui dan dievaluasi oleh pemimpin.
·         Mempertimbangkan risiko-risiko yang akan terjadi atau ditindaki ("consequences"). Pendelegasian dapat menyatakan akibat-akibat yang akan terjadi, yang baik maupun yang tidak baik, sebagai hasil dari suatu pekerjaan atau tugas yang didelegasikan. Akibat-akibat ini dapat diukur melalui evaluasi/pengkajian yang dilakukan dengan meneliti deskripsi tugas dan hasil kerja atau produk yang telah dilakukan atau dihasilkan. Dengan menanyakan apakah semuanya ini telah dilakukan dengan baik dan sesuai dengan rencana, ketentuan dan prosedur, ataukah malah sebaliknya.
C. Metode-Metode Pendelegasian
· Cara bijaksana, yaitu sikap bertanggung jawab penuh dari pemimpin dan bawahan. Pemimpin melaksanakan pendelegasian serta memberi dukungan, sementara bawahan siap serta taat kepada pemimpin dalam melaksanakan tugas/tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya.
· Cara konsistensi, yaitu sikap pasti yang terus-menerus dipertahankan oleh pemimpin dan bawahan.
·         Efektif dan efisien, yaitu memperhitungkan faktor kualitas dan kuantitas kerja.
· Pragmatis dan produktif, yaitu berorientasi kepada hasil atau produksi tinggi, sesuai dengan perencanaan.
D. Wewenang yang Didelegasikan
Menurut Taiylor, (1993 : 55-66) wewenang yang didelegasikan itu ialah wewenang yang termasuk :
  • pekerjaan rutin
  • pekerjaan yang merupakan  harus
  • pekerjaan yang terlalu banyak
  • hal-hal yang khusus
  • pekerjaan terus menerus sama
  • proyek-proyek yang menyenangkan
Sedangkan wewenang yang tidak boleh didelegasikan yaitu :
  • Upacara
  • Menentukan kebijakan
  • Masalah-masalah perssonalia yang khusus
  • Krisis
  • Masalah-masalah rahasia
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Delegasi merupakan sala satu alat kepemimpinan, kita memerlukan kecakapan untuk dapat mempergunakanya mengetahui kegunaan dan cara kerjanya sehinga kita dapat mengambil keputusan dalam memberi delegasi  seseorang yang tepat pada orang yang sesuai dengan bidang atau skilnya. Sementara kekuaasaan di pandang sebagai kerangka interaksi antara manusiayakni diantaranya, identifikasi situasi posting. Mengusulkan tugas yang dipilih orang, mengidentifikasi apa tujuan yang ingin Anda capai, Monitoring, atau memberitahu karyawan untuk ketika pekerjaan akan diperiksa dan apa kriteria, Menilai, atau memberikan umpan balik, baik positif ketika pekerjaan itu dilakukan dengan sukses. Jika secara rasional dalam pendekatan persuasif bahwa  Jika saya cukup bekerja, saya berarti saya yang penting dan diperlukan untuk organisasi.
B. SARAN
Dalam pembahasan ini sangat penting dalam berorganisasi. Ketika kita sebagai seorang pemimpin mendelegasikan pekerjaan wewenang yang akan dapat memperlancar pekerjaan yang tertumpuk. Dan sebagai seorang pemimpin  memegang  kekuasaan  kenapa tidak kita gunakan delegasi kekuasan itu. Karena delegasi kekuasaan adalah pelimpahan tanggung jawab yang dapat  mengendalikan organisasa itu sendiri.









DAFTAR PUSTAKA
1. Nursalam. 2002. Manajemen Keperawatan Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan Profesional. Ed.1. Jakarta:Salemba Medika.
2. Swanburg, RC. 2000. Pengantar Kepemimpinan & Manajemen Keperawatan Untuk Perawat Klinis terjemahan. Alih bahasa Suharyati Samba, editor Monica Ester. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Marquis, Bessie L, dkk.2010.Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan : Teori dan Aplikasi.Edisi 4.Jakarta:EGC


Senin, 19 Desember 2011

MANAJEMEN KONFLIK
  
MAKALAH KONSEP DASAR MANAJEMEN KONFLIK
DI SUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MODUL MANAJEMEN KEPERAWATAN
Dosen pengampu :Andriyani Mustika, S.kep.Ns
Logo%20STEKES%20KENDAL
Di susun oleh:
Kelompok 2
1.        SILVIAN HENDRA FENDIANTOKO                        (SK.109.169)
2.        SITI CHAERIYAH                                            (SK.109.170)
3.        SRI NURHAYATI                                             (SK.109.182)
4.        SUCI DEWI RAHAYU                                     (SK.109.183)
5.        TRI WULAN                                                      (SK.109.195)
6.        TRI YULIONO                                                   (SK.109.196)
7.        WIRDA RO’IKHATUT TAMAMAH               (SK.109.208)
8.        YUWIENDA TYAR ASMARANI                   (SK.109.215)
9.        ZULFA ISTATI MAHARDANI                                   (SK.109.221)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDAL
2011
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya yang dilimpahkan kepada kami sehingga kami dapat melaksanakan tugas membuat makalah ini walaupun sangat sederhana.
Tujuan membuat makalah ini guna melengkapi salah satu tugas mata kuliah Modul  Manajemen Keperawatan. Disamping itu juga menambah pengetahuan tentang manajemen konflik.
Dalam kesempatan ini pula kami mengucapkan terima kasih kepada :
  1. Tuhan YME.
  2. Ibu Andriyani Mustika, S.Kep.,Ns. dan Tim selaku koordinator dosen pengampu mata kuliah Manajemen Keperawatan.
  3. Serta teman-teman yang telah membantu dalam menyusun makalah ini.

Kami percaya bahwa dalam menyusun makalah ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan. Maka dari itu kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran dari pembaca semua.

Kendal, 20 Desember 2011

Penyusun





BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Organisasi merupakan tempat manusia berinteraksi yang mempunyai kemungkinan terjadinya suatu konflik. Konflik ini bisa berhubungan dengan perasaan termasuk perasaan diabaikan, tidak dihargai, atau beban berlebihan, dan perasaan individu yang menimbulkan suatu titik kemarahan. Konflik dapat diartikan sebagai suatu bentuk perselisihan antara “sikap bermusuhan” atau kelompok penentang ide-ide.
(Gillies, 1994)
            Dahulu konflik dianggap sebagai sesuatu yang “berbau”  negative sehingga cara mengelolanyapun bermula dan yang sederhana, seperti dan membiarkan saja sampai yang bersifat ekstrem, yaitu berusaha menghilangkan sampai ke “akar-akarnya” (Gillies, 1994). Namun saat ini, konflik dikenal sebagai suatu fenomena alami yang memperkuat organisasi dengan mendamaikan pendapat yang berbeda dan berusaha menyelesaikannya secara damai. Jadi, konflikm justru dapat digunakan sebagai alat pemersatu kelompok bukan sebagai pemecah belah kelompok yang telah terbangun dengan baik.
            Konflik adalah sebuah kemutlakan atau keharusan sehingga seorang pemimpin harus belajar secara efektif dalam memfasilitasi penyelesaian konflik yang terjadi diantara anggotanya.  Hal ini dilakukan demi tercapainya tujuan organisasi yang telah ditetapkan bersama, bukan membiarkannya atau kebalikan menghindarinya.
(Agus Kuntoro, 2010)
B. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami pengertian konflik
2. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami penyebab konflik
3. Mahasiswa mampu mengerti dan memahami kategori konflik
4. Mahasiswa mampu memahami proses konflik
5. Mahasiswa mampu mengaplikasikan strategi dalam penyelesaian konflik



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konflik
Deutsch (1969) dalam La Monica (1986), mendefinisikan konflik sebagai suatu perselisihan atau perjuangan yang timbul akibat terjadinya ancaman keseimbangan antara perasaan, pikiran, hasrat, dan prilaku seseorang. Douglass dan Bevis (1979) mengartikan konflik sebagai suatu bentuk perjuangan di antara kekuatan interdependen. Perjuangan tersebut dapat terjadi baik di dalam individu (interpersonal conflict) ataupun di dalam kelompok (intergroup conflict) (La Monica, 1986).
Dan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik terjadi akibat adanya pertentangan pada situasi keseimbangan yang terjadi pada diri individu ataupun pada tatanan yang lebih luas, seperti antar-individu, antar-kelompok atau bahkan antar-masyarakat.
(Agus Kuntoro, 2010)
B. Penyebab Konflik
Banyak faktor yang bertanggungjawab terhadap terjadinya konflik terutama dalam suatu organisasi. Faktor-faktor tersebut dapat berupa prilaku yang menentang, stres, kondisi ruangan, kewenangan dokter-perawat, keyakinan, eksklusifisme, kekaburan tugas, kekurangan sumber daya, proses perubahan, imbalan, dan masalah komunikasi.
Prilaku menentang, sebagai bentuk dari ancaman terhadap suatu dialog rasional, dapat menimbulkan gangguan protokol penerimaan untuk interaksi dengan orang lain. Prilaku ini dapat berupa verbal dan nonverbal. Terdapat tiga macam prilaku menentang, yaitu competitive bomber yang dicirikan dengan prilaku mudah menolak, menggerutu dan menggumam, mudah untuk tidak masuk kerja, dan merusak secara agresif yang disengaja. Tipe prilaku menentang yang kedua adalah martyred accommodation, yang ditunjukkan dengan penggunaan kepatuhan semu atau palsu dan kemampuan bekerja sama dengan orang lain, namun sambil melakukan ejekan atau hinaan. Tipe prilaku menentang yang ketiga adalah avoider, yang ditunjukkan dengan penghindaran kesepakatan yang telah dibuat dan menolak untuk berpartisipasi.
Stres juga dapat mengakibatkan terjadinya konflik dalam suatu organisasi. Contoh stresor, antara lain terlalu banyak atau terlalu sedikit beban yang menjadi tanggung jawab seseorang jika dibandingkan dengan orang lain yang ada dalam organisasi, misalnya di bangsal keperawatan.
Kondisi ruangan yang terlalu sempit atau tidak kondusif untuk melakukan kegiatan-kegiatan rutin dapat memicu terjadinya konflik. Hal yang memperburuk keadaan dalam ruangan dapat berupa hubungan yang monoton atau konstan di antara individu yang terlibat di dalamnya, terlalu banyaknya pengunjung pasien dalam suatu ruangan atau bangsal dan lain-lain.
Kewenangan dokter-perawat yang berlebihan dan tidak saling mengendalikan usulan-usulan di antara mereka, juga dapat mengakibatkan munculnya konflik. Dokter yang tidak mau menerima umpan balik dan perawat, atau perawat yang merasa tidak  acuh dengan saran-saran dan dokter untuk kesembuhan klien yang dirawatnya, dapat memperkeruh suasana. Kondisi ini akan semakin “runyam” jika diantara pihak yang terlibat dalam pengelolaan klien merasa direndahkan harga dirinya akibat sesuatu hal.
Penyebab lain terjadi konflik dapat diakibatkan oleh adanya perbedaan nilai atau keyakinan antara satu orang dengan orang lain. Perawat begitu percaya dengan persepsinya tentang pendapat kliennya sehingga menjadi tidak yakin dengan pendapat yang diusulkan oleh profesi atau tim kesehatan lain. Keadaan ini akan semakin menjadi komplek jika perbedaan, nilai, dan persepsi telah melibatkan pihak diluar tim kesehatan yaitu keluarga pasien. Jika ini telah terjadi, konflik yang munculpun semakin tidak sederhana karena telah mengikutsertakan banyak variabel didalamnya.
Adanya pemikiran bahwa kelompok tertentu memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan dengan kelompok lain (ekslusifisme). Hal ini tak jarang menyebabkan konflik antar kelompok dalam ssuatu tatanan organisasi.
Peran ganda yang disandang seseorang (perawat) dalam bangsal keperawatan sering kali mengakibatkan konflik. Seorang perawat yang berperan lebih dari satu peran pada waktu yang hampir bersamaan, masih merupakan fenomena yang jamak ditemukan dalam tatanan pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun di komunitas.
Kekurangan sumber daya insani dalaam tatanan organisasi dapat dianggap sumber absolute terjadinya konflik. Sedikitnya sumber daya insani atau manusia, sering memicu terjadinya persaingan yang tidak sehat dalam suatu tatanan organisasi.
Perubahan dianggap sebagai  proses alamiah. Tetapi kadang perubahan justru akan mengakibatkan berbagai macam konflik. Perubahan yang dilakukan terlalu tergesa-gesa atau cepat, atau perubahan yang dilakukan terlalu lambat, dapat memunculkan konflik.
Beberapa ahli berpendapat bahwa imbalan kadang tidak cukup berpengaruh dengan motivasi seseorang. Namun, jika imbalan dikaitkan dengan pembagian yang tidak merata antara satu orang dan orang lain sering menyebabkan munculnya konflik.
Factor terakhir yang ikut andil dalam memunculkan suatu konflik adalah komunikasi. Penyampaian informasi yang tidak seimbang, hanya orang-orang tertentu yang diajak berbicara oleh manager, penggunaan bahasa yang tidak efektif, dan juga penggunaan media yang tidak tepat sering kali berujung dengan terjadinya konflik di tatanan organisasi yang bersangkutan.
(Agus Kuntoro 2010)
C.Kategori Konflik
Dalam menyelesaikan dan mengelola konflik, Project Manager harus memahami kategori konflik. Adapun kategori konflik adalah:
1.      Konflik orientasi tujuan: berhubungan dengan hasil akhir, performa spesifikasi dan kriteria, prioritas, dan obyektif.
2.      Konflik administratif: berhubungan dengan struktur management, filosofi dan teknik, dan terutama pendefinisian tanggung jawab dan otoritas tugas, fungsi dan keputusan.
3.      Interpersonal Konflik: merupakan hasil dari perbedaan dalam etika bekerja, cara bekerja, egoisme, dan kepribadian dari tiap orang yang terlibat.
(Thamhain 1975)
D.Proses Konflik
            La Monica (1986) mengutip pendapatnya Filley (1980) membagi proses konflik dalam enam tahapan yaitu kondisi yang mendahului, konflik yang dipersepsi, konflik yang dirasakan, perilaku yang dinyatakan, penyelesaian atau penekanan konflik, dan penyelesaian akibat konflik.
            Kondisi yang mendahului merupakan penyebab terjadinya konflik seperti konflik yang sudah didiskusikan sebelumnya. Setelah terjadi suatu konflik, konflik yang ada di persepsi atau berusaha diketahui. Kondisi yang ada diantara pihak yang terlibat atau didalam diri dapat menyebabkan terjadinya konflik. Konflik yang dipersepsi ini pada umumnya bersifat logis, tidak personal, dan sangat  objektif.
            Disisi lain konflik akan dirasakan secara subjektif karena individu merasa ada konflik relasi. Perasaan semacam ini sering diasumsikan sebagai sesuatu yang dapat mengancam integritas diri, memunculkan permusuhan, perasaan takut, dan balikan timbulnya perasaan tidak berdaya (hopeles). Akibat dari kondisi-kondisi tersebut, beberapa individu kemudian melakukan bentuk perilaku nyata atau actual seperti perilaku agresi, pasif, aseptif, persaingan, debat, atau adabeberapa individu yang mencoba memecahkan masalah atau konflik.
            Langkah selanjutnya yang dilakukan terhadap terjadinya konflik adalah perilaku untuk menyelesaikan atau menekan konflik tersebut. Perilaku tersebut dapat berupa perjanjian diantara yang terlibat.
            Tahap terakhir dari proses konflik adalah upaya penyelesaian akibat dari konflik. Beberapa kejadian konflik sering meninggalkan “residu” pada pihak yang terlibat. Oleh karena  itu, upaya untuk menyelesaikan sisa atau akibat konflik tersebut sudahi selayaknya dilakukan oleh pihak yang terlibat. Jika hal ini tidak dilakukan, dapat memunculkan konflik baru pada tempat dan waktu yang berbeda.
E. Strategi Penyelesaian Konflik
            Beberapa strategi dapat dipakai untuk  menyelesaikan terjadinya konflik. Strategi –strategi tersebut adalah menghindar, akomodasi, kompetisi, kompromi dan kerja sama.
Cara menghindar memungkinkan kedua kelompok atau pihak yang terlibat konflik menjadi dingin dan berusaha mengumpulkan informasi. Dengan demikian, pihak yang terlibat konflik diberi kesempatan untuk merenungkan dan memikirkan alternatife penyelesaiannya.
Strategi akomodasi digunakan untuk memfasilitasi dan memberikan wadah untuk menampung keinginan pihak yang terlibat konflik sehingga terjadi peningkatan kerja sama dan pengumpulan data-data yang akurat dan signifikan untuk pengambilan suatu kesepakatan bersama.
Cara kompetisi, dengan menunjukkan kekuasaan yang terkait dengan posisinya untuk menyelsaikan konflik terutama yang terkait dengan tugas dan tanggung jawab stafnya.
Strategi kompromi dilakukan dengan cara mengambil jalan tengah dengan pihak yang terlibat konflik.
Cara kerja sama, cara ini dilakukan dengan melibatkan pihak yang terlibat konflik untuk melakukan kerja sama dalam rangka penyelesaian konflik. Cara ini biasanya menimbulkan perasaan puas dikedua belah pihak yang terlibat konflik.
(Agus Kuntoro, 2010)
F. Peran Pimpinan Dalam Penyelesaian Konflik
Seorang manajer (kepala ruang) harus segera mengambil inisiatif untuk mefasilitasi penyelesaian konflik yang positif. Manajer dapat saja “mengabaikan” konflik yang terjadi atau harus ikut campur tangan dalam penyelesaiannya. Jika persoalan yang mendasari konflik sangat kecil, dalam arti hanya melibatkan dua orang (perawat, perawat dengan profesi lain) dan tidak mempengaruhi proses asuhan keperawatan secara bermakna, seorang manajer tidak harus ikut campur untuk penyelesaian konflik. Meskipun demikian, manajer dapat memberikan izin agar pihak yang terlibat membuat perjanjian mengenai persoalan yang sedang dihadapi dan cara apa yang sekiranya dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik. Sebaliknya, bila konflik yang terjadi sangat mempengaruhi pemberian asuhan keperawatan pada klien, seorang manajer dapat segera mengambil inisiatif untuk ikut secara aktif  menyelesaikan konflik yang sedang terjadi dengan pertimbangan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat menimpa klien.
Beberapa strategi dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik, seperti penggunaan disiplin, pertimbangan tahap kehidupan, komunikasi, lingkaran kualitas dan latihan keasertifan.
1. Penggunaan disiplin
Dalam menggunakan disiplin untuk mengelola atau mencegah terjadinya konflik, seorang manager perawat harus mengetahui dan memahami peraturan dan ketetapan organisasi yang berlaku. Berbagai aturan dapat digunakan untuk mengelola konflik,  antara lain penggunaan disiplin yang progresif, pemberian hukuman yang sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan anggota, penawaran bantuan untuk menyelesaikan masalah pekerjaan, penentuan, pendekatan terbaik untuk setiap personil, pendekatan individual, tegas dalam pemberian keputusan, penciptaan rasa hormat, dan rasa percaya diri diantara anggota untuk mengatasi masalah kedisiplinan.
2. Pertimbangan tahap kehidupan
Konflik juga dapat diselesaikan melalui pemberian dukungan pada anggota untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam tahap perkembangan kehidupannya. Ada tiga tahap perkembangan yaitu tahap dewasa muda, setengah baya,  dan setelah umur 55 tahun. Masing-masing tahap perkembangan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda.
3. Komunikasi
Komunikasi yang merupakan bagian mendasar manusia dapat dimanfaatkan dalam penyelesaian konflik. Komunikasi merupakan suatu seni yang penting digunakan untuk memelihara suatu lingkungan kondusif-terapeutik.
4. Lingkaran kualitas 
Cara lain yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya konflik adalah lingkaran kualitas. Cara ini telah digunakan untuk mengurangi terjadinya stress melalui kegiatan peningkatan motivasi personil. Lingkaran kualitas ini dapat digunakan melalui manajemen partisipasi, keanggotaan dalam panitia, program pengembangan kepemimpinan, latihan-latihan kelas, penjejangan karir, perluasan kerja dan rotasi kerja.
5. Latihan keasertifan
Seorang manager dapat juga melatih stafnya dalam hal keasertifan untuk mencegah atau mengelola konflik. Sifat asertif dapat diajarkan memalui program pengembangan staf. Pada program ini perawat diajarkan cara belajar melalui respon yang baik. Manager dapat belajar mengendalikan personil supaya mampu memegang aturan.
            (Agus Kuntoro, 2010)


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konflik terjadi akibat adanya pertentangan pada situasi keseimbangan yang terjadi pada diri individu atau pada tatanan yang lebih luas, seperti antar-individu, antar-kelompok atau bahkan antar-masyarakat. Banyak factor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya konflik terutama dalam organisasi. Factor-faktor tersebut dapat berupa perilaku yang menentang, stress, kondisi ruangann, kewenangan dokter perawat, keyakinan, eksklusifisme, kekaburan tugas, kekurangan sumber daya, proses perubahan, imbalan dan masalah komunikasi. Seorang manajer (kepala ruang) harus segera mengambil inisiatif untuk mefasilitasi penyelesaian konflik yang positif. Manajer dapat saja “mengabaikan” konflik yang terjadi atau harus ikut campur tangan dalam penyelesaiannya.
(Agus Kuntoro, 2010)
B. Saran
Untuk menyelesaikan suatu konflik seharusnya diperlukan  usaha-usaha yang bersifat konstruktif untuk menghasilkan pertumbuhan positif  individu atau kelompok, peningkatan kesadaran, pemahaman diri dan orang lain, dan perasaan positif terhadap hubungan dengan orang lain.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Agus Kontoro.2010. Buku Ajar Manajemen Keperawatan.Yogyakarta:Nuha Medika.
  2. Suarli dkk.2002.Manajemen Keperawatan dengan Pendekatan Praktis.Jakarta:Erlangga.
3.      dunia-askep.blogspot.com/konsep-manajemen-keperawatan.html)
4.      McLeold, Raymond, DKK.2009.sistem informasi manajemen.Jakarta:Salemba Empat
5.      Yukl, Gary A.1998.Leader Ship in Organzations.Jakarta:Prenhallindo
6.      Dessler, Gary.1998.Human Resource Management.Jakarta:Prenhallindo